
Laut Aceh, Rumah yang Harus Dijaga
Konservasi Laut Aceh dikenal dengan lautnya yang luas, kaya, dan indah.
Dari Sabang sampai Simeulue, ombaknya menyimpan kehidupan — ikan tuna, terumbu karang, penyu, dan ribuan biota laut lainnya.
Namun keindahan itu kini diuji oleh polusi, penangkapan ikan berlebih, dan perubahan iklim.
Bagi nelayan seperti Abu Karim di Pulo Aceh, laut bukan sekadar tempat mencari rezeki, tapi amanah yang harus dijaga.
“Kalau laut rusak, bukan cuma ikan yang hilang, tapi hidup kami juga,” katanya sambil menambal jaring di tepi pantai.
Karena itulah, lahir gerakan konservasi laut Aceh yang kini makin tumbuh di berbagai gampong pesisir.
1. Menanam Kembali Terumbu Karang
Di bawah permukaan laut Aceh, ribuan karang mati akibat bom ikan dan limbah plastik.
Namun kini nelayan muda mulai ikut menanam kembali karang buatan menggunakan beton berbentuk kubah.
Program ini dijalankan bersama komunitas lokal seperti Pulo Aceh Marine Team dan didukung lembaga lingkungan internasional.
Setiap bulan, para penyelam sukarela menurunkan rangka besi dan menempelkan bibit karang.
Perlahan, kehidupan laut kembali tumbuh.
Ikan kecil mulai datang, dan laut kembali berwarna.
2. Melindungi Penyu yang Menetas di Pesisir Barat
Di Gampong Lhok Seudu dan Pantai Lampuuk, warga membentuk kelompok penjaga penyu.
Mereka mengumpulkan telur penyu dari pantai, memindahkannya ke tempat aman, lalu melepaskan tukik ke laut setelah menetas.
Kegiatan ini menjadi bagian penting dari konservasi laut Aceh.
Selain menjaga populasi penyu, kegiatan ini juga menarik wisatawan yang ingin ikut melepas tukik.
“Anak-anak sekolah juga kami ajak, biar mereka cinta laut sejak dini,” ujar Cut Salmah, relawan konservasi Lampuuk.
3. Larangan Bom Ikan dan Jaring Trawl
Dulu, sebagian nelayan menggunakan bahan peledak dan jaring trawl.
Sekarang, lewat kesepakatan adat laot, praktik itu dilarang keras.
Imum laot, aparat, dan masyarakat bahu membahu mengawasi wilayah tangkap.
Nelayan kini menggunakan alat tangkap ramah lingkungan seperti pancing ulur dan bubu bambu.
Selain menjaga keberlanjutan, hasil tangkapan pun lebih berkualitas.
“Kita jaga laut, laut akan jaga kita,” begitu pesan yang sering terdengar di setiap rapat imum laot.
4. Pengelolaan Sampah Pesisir
Masalah sampah menjadi ancaman nyata.
Setiap hari, plastik dan limbah rumah tangga terbawa arus ke laut.
Di beberapa desa pesisir Aceh, muncul inisiatif “Sampah Jadi Rupiah” — gerakan menukar botol plastik dengan uang atau kebutuhan pokok.
Selain itu, kelompok ibu-ibu nelayan mulai membuat kerajinan tangan dari plastik bekas.
Gerakan sederhana ini membantu ekonomi keluarga sekaligus menjaga kebersihan laut.
5. Edukasi Konservasi Laut untuk Generasi Muda
Salah satu kekuatan terbesar dari konservasi laut Aceh adalah keterlibatan anak muda.
Di sekolah pesisir, guru mulai mengajarkan tentang ekosistem laut, pentingnya menjaga terumbu karang, dan bahaya limbah.
Program “Sekolah Laut” yang digagas Universitas Syiah Kuala menjadi wadah belajar terbuka bagi anak nelayan.
Mereka belajar langsung di pantai, menanam mangrove, dan mengenali spesies laut lokal.
Pelan tapi pasti, lahir generasi baru penjaga laut Aceh.
6. Mangrove, Benteng Hijau dari Tsunami
Setelah tsunami 2004, masyarakat sadar bahwa hutan mangrove bukan sekadar pohon, tapi pelindung hidup.
Kini, ribuan bibit mangrove ditanam di kawasan pesisir seperti Krueng Raya dan Meuraxa.
Akar mangrove menahan abrasi, menjadi rumah bagi ikan kecil, dan menyerap karbon alami.
“Kalau mangrove tumbuh, kampung aman dari badai,” kata Abu Karim sambil menunjuk barisan pohon muda di tepi laut.
Konservasi laut Aceh tidak hanya menjaga ekosistem, tapi juga menjaga masa depan manusia.
6. Mangrove, Benteng Hijau dari Tsunami
Setelah tsunami 2004, masyarakat sadar bahwa hutan mangrove bukan sekadar pohon, tapi pelindung hidup.
Kini, ribuan bibit mangrove ditanam di kawasan pesisir seperti Krueng Raya dan Meuraxa.
Akar mangrove menahan abrasi, menjadi rumah bagi ikan kecil, dan menyerap karbon alami.
“Kalau mangrove tumbuh, kampung aman dari badai,” kata Abu Karim sambil menunjuk barisan pohon muda di tepi laut.
Konservasi laut Aceh tidak hanya menjaga ekosistem, tapi juga menjaga masa depan manusia.
Kesimpulan: Menjaga Laut, Menjaga Masa Depan
Konservasi laut Aceh bukan tugas pemerintah saja, tapi juga tanggung jawab bersama.
Nelayan, pelajar, perempuan pesisir, dan semua warga Aceh kini menjadi bagian dari gerakan besar menjaga laut.
Ketika laut sehat, ikan melimpah, ekonomi tumbuh, dan budaya pesisir tetap hidup.
Laut bukan hanya biru di mata, tapi juga masa depan yang harus dijaga bersama.