
Laut Sebagai Ruh dan Rumah Kehidupan
Bagi masyarakat pesisir, terutama di Aceh Utara dan Aceh Besar, laut bukan hanya tempat bekerja, melainkan bagian dari diri mereka.
Gelombang bukan sekadar air, tapi bahasa yang berbicara dengan hati nelayan.
Sejak kecil, anak-anak pesisir sudah diajarkan untuk menghormati laut melalui tradisi laut Aceh, warisan leluhur yang terus hidup sampai hari ini.
Setiap tahun, nelayan di Gampong Ujong Blang, Lhokseumawe, menggelar Kenduri Laôt, doa bersama untuk keselamatan dan rezeki laut. Di sana, aroma nasi kuning, ikan bakar, dan tawa warga bercampur dengan suara ombak.
“Laut ini seperti orang tua kami, harus dijaga dan disyukuri,” ujar Teungku Rahmad, imam laot setempat.
1. Kenduri Laôt – Doa di Bawah Langit Laut
Kenduri Laôt adalah simbol utama tradisi laut Aceh.
Nelayan membawa makanan, membaca doa, dan melepas bunga ke laut sebagai bentuk syukur.
Ritual ini bukan hanya seremoni, tapi pengingat agar manusia tidak rakus dan selalu menjaga keseimbangan alam.
Biasanya kenduri dilakukan sebelum musim barat datang. Saat itu, seluruh desa berkumpul di tepi pantai — tua muda, laki-laki, perempuan, bahkan anak-anak ikut membawa hidangan.
2. Peusijuek Perahu – Restu Sebelum Berlayar
Tradisi peusijuek perahu dilakukan ketika kapal baru hendak diluncurkan.
Air beras dan daun pandan disiramkan ke lambung kapal, disertai doa-doa keselamatan.
Bagi nelayan Aceh, peusijuek bukan sekadar adat, tapi bentuk komunikasi spiritual antara manusia dan alam.
“Kalau sudah dipeusijuek, hati kami tenang saat melaut,” kata Bang Din, tukang kapal di Kuala Ceurape.
Upacara ini mencerminkan nilai religius yang menyatu dengan budaya maritim — sederhana, tapi penuh makna.
3. Peumat Jaroe – Tanda Persaudaraan Laut
Setelah kenduri, nelayan melakukan peumat jaroe atau saling berjabat tangan.
Tradisi ini menandakan pengampunan dan persaudaraan.
Laut dipercaya lebih bersahabat dengan nelayan yang hidup damai.
Itulah sebabnya sebelum turun ke laut, mereka memastikan tidak ada dendam atau pertengkaran di antara sesama.
4. Tarian Laut dan Ratéb Meuseukat
Di beberapa daerah, kenduri laut diiringi tarian laut dan ratéb meuseukat.
Gerakan para penari menggambarkan kehidupan di laut — ombak, kapal, dan doa nelayan.
Syair-syairnya berisi pesan moral: kerja keras, rasa syukur, dan keteguhan hati menghadapi badai.
Tradisi ini sering ditampilkan dalam festival maritim Aceh.
Melalui seni, pesan leluhur tentang cinta laut terus disampaikan pada generasi muda.
5. Peuleumah Jareung – Doa Saat Menurunkan Jaring
Ketika jaring pertama dilempar ke laut, nelayan memanjatkan doa peuleumah jareung.
Doa ini dipimpin oleh nelayan tertua di kapal, memohon agar hasil tangkapan melimpah dan laut tetap tenang.
Bagi mereka, doa bukan formalitas. Itu bagian dari etika hidup — bahwa laut tidak bisa ditaklukkan, hanya bisa dihormati.
6. Peugleh – Gotong Royong Nelayan
Jika kapal rusak, warga pesisir melakukan peugleh, yaitu kerja bakti memperbaiki perahu bersama.
Tidak ada bayaran. Semua dilakukan atas dasar kebersamaan.
Biasanya, tuan rumah menyiapkan kopi, nasi bungkus, dan rokok sebagai tanda terima kasih.
Peugleh memperlihatkan kekuatan komunitas nelayan Aceh — saling menolong tanpa pamrih, menjaga satu sama lain seperti keluarga besar di bawah langit biru laut.
7. Tradisi Laut Aceh di Era Modern
Zaman boleh berubah, tapi tradisi laut Aceh tetap hidup.
Kini, kenduri laut sering digelar bersamaan dengan acara wisata maritim, dan peusijuek kapal dilengkapi dengan protokol keselamatan modern.
Pemerintah daerah juga mulai mengintegrasikan ritual laut ini dalam program pelestarian budaya dan edukasi lingkungan.
“Anak muda sekarang harus tahu: tradisi ini bukan nostalgia. Ini cara kita menjaga laut dan identitas Aceh,” ujar Teungku Rahmad.
Kesimpulan: Tradisi Laut Aceh, Warisan yang Tak Boleh Tenggelam
Dari doa hingga gotong royong, tradisi laut Aceh mengajarkan nilai-nilai luhur — rasa hormat terhadap alam, kebersamaan, dan keteguhan iman.
Ketika nelayan mengucap doa di tepi pantai atau saling berjabat tangan sebelum melaut, di situlah kearifan lokal bekerja menjaga keseimbangan antara manusia dan laut.
Selama suara ombak masih terdengar di pesisir Aceh, tradisi ini tak akan tenggelam oleh zaman.